Jumat, 03 Januari 2014

Tulisan 7


HILANG
Huh dia lagi, dia lagi. Tak bisa aku lepaskan pikiran tentang dia yang sangat menjengkelkan itu. Setiap pagi, yang seharusnya aku senang dan semangat akan pergi ke sekolah dan bertemu dengan sahabat-sahabatku, malah menjadi pagi yang menjengkelkan dan tak bersemangat. Mengapa sih aku terjebak untuk menjadi ‘Teman’ sebangkunya, yang harus selalu di sebelahnya dan mengerjakan semua tugas bersama-sama? Ini semua gara-gara mobil rongsokan papa yang mogok saat di jalan.

Hari itu papa bersikeras agar aku naik mobil kesayangannya yang sudah tua itu. “Untuk keberuntungan hari pertama sekolah,” katanya dengan senyuman bangga. Eeh, tiba-tiba saat di jalan, mobil ‘keberuntungan’ papa menjadi mobil ‘sial’-ku. Mobil itu mogok di tengah-tengah jalan! Jadilah aku telat. Aku sudah berlari dengan sekuat tenaga, tetapi tetap saja aku telat. Untung sekolahku tidak seperti sekolah negeri biasa yang pagarnya ditutup jika bel sudah selesai berbunyi lagi. Teman-teman sudah duduk di kursi dengan rapih, dan penataan teman sebangku sudah selesai. Tersisa 1 tempat duduk di kiri tengah dengan cowok yang kupikir dapat menjadi temanku.

Memikirkan hari terburuk itu membuatku kehilangan nafsu makan. Omelet sedap dengan danging asap buatan mama yang ada di piringku tergeletak begitu saja menungguku untuk menghabiskannya. Maafkan aku Omelet, aku tidak bisa menghabiskanmu. Aku sudah kenyang dan enek memikirkannya. Tanpa berpikir panjang, aku pun beranjak dari kursi meja makanku.
“Pa, yuk berangkat!” ajak ku.
“Yuk!” sahut papa sembari mengambil tas kerjanya.
“Hati-hati di jalan ya sayang…” ujar mama.
“Iya!” sahut papa dan aku secara bersaman. Kita pun menaiki mobil baru papa, dan langsung menuju sekolahku.

Tak lama aku sudah berada di lobby sekolah. Perlahan aku turunkan kakiku dari mobil dan menuju kelasku. Kulihat dari jendela kelasku. Dia di sana, duduk di atas meja, bagaikan sedang menunggu seseorang. Aku tahu dia sedang menungguku, agar ia bisa mengejekku, menjahiliku, menggangguku, dan membuatku sangat-sangat kesal.
“ADELIA!” sahut salah satu sahabatku, Lizza.
Ia adalah orang yang berisik sekali. Di belakangnya, menyusul sahabat-sahabatku yang lain, Thalita dan Dina. Mereka sudah menjadi sahabatku sejak tahun lalu. Sejak kita berempat kelas 1 SMA.

“Yuk masuk!” ajak Dina. Kita berempat pun masuk, dan mulailah penderitaanku untuk hari ini.
“Yaah, ada si tulang.”
“Apa sih Matias, belum juga gue duduk, udah ngoceh aja lo.” jawabku dengan muka sejutek-juteknya sambil duduk di sebelahnya.

Ya, nama cowok yang menjengkelkan itu Matias. Jangan tertipu oleh namanya. Matias terdengar seperti nama anak yang cakep, dermawan, dan sangat caring, tetapi Matias yang ini, nggak ada mirip-miripnya sama Matias yang kalian pikirkan itu. Beda jauh banget.
“Muka kalau udah jelek, jangan tambah dijelekin.”
“Au ah gelap,” balasku.
“Yah jangan ngambek dong.. masa gitu aja ngambek. nanti cantiknya hilang loh.” ejeknya. Hari ini berlalu dengan ejekan Matias yang tiada hentinya.

“HEEY!” Lizza teriak dengan riangnya lewat telepon.
“Bosen nih Liz.” keluhku.
“Hmm.. Gimana kalau kita pergi jalan-jalan?” Lizza menyarankan, masih dengan suara riangnya.
“Ayo! Tapi kemana nih?” kita berdua berdiam sejenak, berdebat di kepala masing-masing untuk menentukan tempat yang akan terpilih untuk kita kunjungi hari Sabtu ini.
“Ragunan!” sahutku mendahuluinya. Tidak sempat ia menjawab, aku sudah cepat-cepat menutup teleponnya dan mulai menelepon Dina.

Kita ke ragunan menggunakan mobil Lizza, karena mobilku di pakai papa. Radio di mobil tiba-tiba memutarkan lagu 22 oleh Taylor Swift. Aku dan Lizza tahu betul kalau Taylor Swift itu artis kesukaannya Dina. Dina pun mulai kegirangan sendiri dan menyanyikan lagu tersebut. Aku dan Lizza memang tidak terlalu hafal lagu 22 itu, tetapi pada saat reff-nya mulai, kita pun bernyanyi bersama-sama dengan kencangnya.

“I don’t know about you, but i’m feeling twenty two, everythings gonna be alright if you keep me next to youuu! Hahahahaha” Kita pun bernyanyi dan tertawa dengan senangnya.

Tak terasa kita sudah sampai di tempat tujuan yaitu ragunan. Cepat-cepat kita lari ke tempat peminjaman sepeda agar dapat mendapatkan sepeda yang bagus. tetapi sesampainya di sana, sepeda yang ada hanya tersisa dua sepeda, yaitu sepeda untuk satu orang, dan sepeda gandeng untuk 2 orang. Kita memutuskan untuk meminjamnya saja, karena kita takut nanti malah tidak kedapatan sama sekali. Aku memakai sepeda yang untuk satu orang, sedangkan Lizza dan Dina memakai sepeda gandeng berdua.

Kita berkeliling ragunan sambil melihat lihat binatang-binatang yang kita lewati. Kita juga mengomentari binatang-binatang tersebut dan tertawa-tawa bersama-sama. Saat kita melewati monyet, kita sangat beruntung karena monyet-monyetnya sadang sangat lucu seperti sedang bermain-main dan berbicara dengan satu sama lain.

“Ya ampun mama, aku mau main!” Dina berkata seperti sedang mendialogkan si monyet yang kecil yang sedang bermain-main.
“Tidak anakku, kamu harus tidur siang.” Aku pun melanjutkan, mengikuti apa yang di lakukan oleh dina, dan kita tertawa lagi.

Hari ini adalah hari yang sangat amat menyenangkan. Tidak ada yang mengganggu, hanya aku dan sahabat-sahabatku bersenang-senang. Kita bertiga sedang tertawa terbahak-bahak karena cerita lucu yang barusan Lizza ceritakan sembari kita berkeliling Ragunan. Di depan ada turunan. Aku sangat suka jalanan yang menurun karena angin yang akan menghembus saat kita melewatinya, dan kita tidak perlu mengoes pedal sepeda.
“Wiiii!” seruku, sambil menutup mata sejenak asyik dengan rasa sejuk yang ku rasakan. Saat aku membuka mata, aku sudah berada di dekat ujung turunan. Aku pun cepat-cepat memencet rem agar tidak terlalu berbahaya, karena di ujung turunan ada belokan.
“Toloong!!” Aku bingung. Ku coba sekali lagi. Enggak bisa!
“TOLONG!” Aku mulai panik.
“LIZZA, DINA!!” Aku panik dan takut.
“ADEL! Rem Del!” sahut Lizza yang terdengar sangat jauh.
“ENGGAK BISA!! TOLONG LIZ, ENGGAK BISA DI REM! AAAH” Aku teriak, terdengar panik di suaraku.
“Eh ada si tulang. Rem dong nanti kalau jatuh kan berabe.” terdengar dari telinga sebelah kananku suara laki-laki yang sangat familiar. Kok ngos-ngosan? Sepertinya Ia sedang berolahraga. Tunggu, aku masih melaju kencang!
“MATIAS! TOLONGIN GUE! ENGGAK BISA DI REM!” teriakku dengan harapan dia dapat berubah menjadi baik. Sebenci-bencinya aku kepadanya, dialah yang paling dekat denganku yang memungkinkan untuk bisa menolongku.
“Ya ampun adelia!” terdengar suara hentakkan kaki yang sangat cepat di belakang.
“AAAH!” Aku takut. Bagaimana ini? Aku tak dapat berpikir apa-apa. Aku sangat takut. Mataku terpejam, takut untuk melihat.
“ADELIA!” suara Matias sudah dekat. Aku mulai agak lega. Mataku perlahanku buka, dan kulihat di sebelah kananku Matias dengan muka yang sangat amat panik mencoba untuk mendekat. Kucoba ulurkan tangan agar dapat tergapai oleh Matias, tetapi tangan kiriku menarik sepedaku ke sebelah kiri.
“Enggak bisa!” rengekku. Mataku sudah mulai berair. Kuulurkan tanganku untuk menyeka air mata yang sudah berjatuhan. Tak lama, aku merasakan benturan di sepedaku yang membuatku melayang dan dengan cepatnya aku menabrak sesuatu dengan posisi yang tidak enak. Aku bingung. Terasa tubuhku menabrak besi yang sepertinya pagar ragunan, dan pandanganku menjadi gelap seketika.

Kepalaku sakit. Badanku susah untuk bergerak. Ada apa ini? Mengapa aku seperti ini? Apa yang terjadi? Perlahan aku membuka mataku. Ah terang sekali. Kucoba sekali lagi. Nah, sudah tidak terlalu terang lagi. Dimana aku? Eh ada Matias! Dia ganteng banget sih. Siapa cewek-cewek yang berdiri di sampingnya? Ih jangan dekat-dekat Matias! Dia milikku! Aduh sakit. Aku tidak dapat beranjak dari tempat tidur ini.
“Matias” ya ampun suaraku jelek sekali. Mulutku terasa sangat kering. Tenggorokkanku sakit.
“Adelia!” serunya, langsung memberikanku minum. Aku tersenyum. Senang sekali mendengar suaranya. Mereka semua langsung menghampiriku. Aku merasa risih. Siapa sih mereka?
“Matias, aku dimana?” wajah mereka semua menunjukkan kebingungan.
“Kamu di rumah sakit del” Matias menjawab.
“Kenapa?” aku bingung dan panik.
“Kamu enggak inget kejadian kemaren?” Si cewek satunya bertanya. Yang ku ingat hanyalah suara matias memanggil namaku.
“Enggak. Kamu siapa sih?” Tanyaku sedikit jutek. Matias punyaku.
“Kamu enggak kenal aku?” Tanyanya lagi.
“Enggak. Aku juga gak kenal kamu” Aku menunjuk ke cewek satunya lagi. Tiba-tiba papa dan mamaku datang tanpa mengetuk pintu. Ya ampun kalau saja mereka salah ruangan pasti malunya minta ampun, hahaha.
“Adelia!” Mama memanggil langsung menerobos matias yang tadinya ada di sampingku.
“Sayang! Kamu udah bangun? Enggak kenapa-kenapa kan sayang?” Tanya papaku.
“Iya pa, ma, Adel enggak apa-apa kok.” Jawabku sedikit memanja.
“Iya sayang, tadi kita sudah menanyakan susternya, katanya hari selasa Adel sudah bisa pulang.” Ujar mama sangat bersemangat. Aku sangat senang.
“Matias! Aku hari selasa sudah bisa pulang!” Seruku. Matias datang padaku, sedangkan dua orang cewek tadi keluar dengan mama dan papaku.
“Adelia, aku siapa?” Tanya matias seperti orang aneh.
“Kamu pacar aku lah…” Mukanya langsung terlihat panik, bingung, tetapi senang di saat yang bersamaan. “Kamu enggak apa-apa kan?” tanyaku untuk memastikan.
“Iya enggak apa-apa kok. Yang tadi barusan datang itu siapa?”
“Dua orang tadi? Mereka kan mama dan papaku. Kamu gimana sih, hahaha”
“Terus, yang dua cewek tadi kamu tahu enggak mereka siapa?” Tanyanya lagi. Astaga dia kenapa sih.
“Enggak tahu. Mereka siapa sih? Mereka mau mengambilmu dariku?” Muka Matias langsung panik. “Ya ampun, kamu selingkuh?” Tanyaku lagi. Aku sedih, kecewa. Semoga dia tidak selingkuh.
“Eh, enggak kok, enggak. Tunggu sebentar ya.” Matias langsung lari keluar. Tak lama kemudian, dokter dan semuanya datang. Ada apa ini?
“Adelia, kamu enggak inget dua cewek ini siapa?” Tanya dokter. Emang aku harusnya inget ya?
“Enggak dok. Ada apa sih ini?” Mereka tidak menjawabku. Yang mereka berikan hanyalah muka kasihan.

Adelia mengalami amnesia ringan. Tetapi kata dokter, semua hal yang Adelia lupa sekarang, tidak dapat kembali lagi. Walaupun Dina dan Lizza sudah mencoba membuat Adelia mengingat mereka, tetap saja gagal. Adelia tidak tahu kalau dia mengalami amnesia. Mama dan papanya menganggap Adelia tidak perlu tahu tentang kejadian yang menimpanya. Sekarang Adelia selalu bersama Matias. Matias senang, akhirnya Ia bersama dengan cewek yang disukainya, walaupun agak sedikit sedih cewek itu harus mengalami amnesia untuk menyukai Matias.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar