HILANG
Huh dia lagi, dia lagi. Tak bisa aku
lepaskan pikiran tentang dia yang sangat menjengkelkan itu. Setiap pagi, yang
seharusnya aku senang dan semangat akan pergi ke sekolah dan bertemu dengan
sahabat-sahabatku, malah menjadi pagi yang menjengkelkan dan tak bersemangat.
Mengapa sih aku terjebak untuk menjadi ‘Teman’ sebangkunya, yang harus selalu
di sebelahnya dan mengerjakan semua tugas bersama-sama? Ini semua gara-gara
mobil rongsokan papa yang mogok saat di jalan.
Hari itu papa bersikeras agar aku naik
mobil kesayangannya yang sudah tua itu. “Untuk keberuntungan hari pertama
sekolah,” katanya dengan senyuman bangga. Eeh, tiba-tiba saat di jalan, mobil
‘keberuntungan’ papa menjadi mobil ‘sial’-ku. Mobil itu mogok di tengah-tengah
jalan! Jadilah aku telat. Aku sudah berlari dengan sekuat tenaga, tetapi tetap
saja aku telat. Untung sekolahku tidak seperti sekolah negeri biasa yang
pagarnya ditutup jika bel sudah selesai berbunyi lagi. Teman-teman sudah duduk
di kursi dengan rapih, dan penataan teman sebangku sudah selesai. Tersisa 1
tempat duduk di kiri tengah dengan cowok yang kupikir dapat menjadi temanku.
Memikirkan hari terburuk itu membuatku
kehilangan nafsu makan. Omelet sedap dengan danging asap buatan mama yang ada
di piringku tergeletak begitu saja menungguku untuk menghabiskannya. Maafkan
aku Omelet, aku tidak bisa menghabiskanmu. Aku sudah kenyang dan enek
memikirkannya. Tanpa berpikir panjang, aku pun beranjak dari kursi meja
makanku.
“Pa, yuk berangkat!” ajak ku.
“Yuk!” sahut papa sembari mengambil
tas kerjanya.
“Hati-hati di jalan ya sayang…” ujar
mama.
“Iya!” sahut papa dan aku secara
bersaman. Kita pun menaiki mobil baru papa, dan langsung menuju sekolahku.
Tak lama aku sudah berada di lobby
sekolah. Perlahan aku turunkan kakiku dari mobil dan menuju kelasku. Kulihat
dari jendela kelasku. Dia di sana, duduk di atas meja, bagaikan sedang menunggu
seseorang. Aku tahu dia sedang menungguku, agar ia bisa mengejekku,
menjahiliku, menggangguku, dan membuatku sangat-sangat kesal.
“ADELIA!” sahut salah satu sahabatku,
Lizza.
Ia adalah orang yang berisik sekali.
Di belakangnya, menyusul sahabat-sahabatku yang lain, Thalita dan Dina. Mereka
sudah menjadi sahabatku sejak tahun lalu. Sejak kita berempat kelas 1 SMA.
“Yuk masuk!” ajak Dina. Kita berempat
pun masuk, dan mulailah penderitaanku untuk hari ini.
“Yaah, ada si tulang.”
“Apa sih Matias, belum juga gue duduk,
udah ngoceh aja lo.” jawabku dengan muka sejutek-juteknya sambil duduk di
sebelahnya.
Ya, nama cowok yang menjengkelkan itu
Matias. Jangan tertipu oleh namanya. Matias terdengar seperti nama anak yang
cakep, dermawan, dan sangat caring, tetapi Matias yang ini, nggak ada
mirip-miripnya sama Matias yang kalian pikirkan itu. Beda jauh banget.
“Muka kalau udah jelek, jangan tambah
dijelekin.”
“Au ah gelap,” balasku.
“Yah jangan ngambek dong.. masa gitu
aja ngambek. nanti cantiknya hilang loh.” ejeknya. Hari ini berlalu dengan
ejekan Matias yang tiada hentinya.
—
“HEEY!” Lizza teriak dengan riangnya
lewat telepon.
“Bosen nih Liz.” keluhku.
“Hmm.. Gimana kalau kita pergi
jalan-jalan?” Lizza menyarankan, masih dengan suara riangnya.
“Ayo! Tapi kemana nih?” kita berdua
berdiam sejenak, berdebat di kepala masing-masing untuk menentukan tempat yang
akan terpilih untuk kita kunjungi hari Sabtu ini.
“Ragunan!” sahutku mendahuluinya.
Tidak sempat ia menjawab, aku sudah cepat-cepat menutup teleponnya dan mulai
menelepon Dina.
Kita ke ragunan menggunakan mobil
Lizza, karena mobilku di pakai papa. Radio di mobil tiba-tiba memutarkan lagu
22 oleh Taylor Swift. Aku dan Lizza tahu betul kalau Taylor Swift itu artis
kesukaannya Dina. Dina pun mulai kegirangan sendiri dan menyanyikan lagu
tersebut. Aku dan Lizza memang tidak terlalu hafal lagu 22 itu, tetapi pada
saat reff-nya mulai, kita pun bernyanyi bersama-sama dengan kencangnya.
“I don’t know about you, but i’m
feeling twenty two, everythings gonna be alright if you keep me next to youuu!
Hahahahaha” Kita pun bernyanyi dan tertawa dengan senangnya.
Tak terasa kita sudah sampai di tempat
tujuan yaitu ragunan. Cepat-cepat kita lari ke tempat peminjaman sepeda agar
dapat mendapatkan sepeda yang bagus. tetapi sesampainya di sana, sepeda yang
ada hanya tersisa dua sepeda, yaitu sepeda untuk satu orang, dan sepeda gandeng
untuk 2 orang. Kita memutuskan untuk meminjamnya saja, karena kita takut nanti
malah tidak kedapatan sama sekali. Aku memakai sepeda yang untuk satu orang,
sedangkan Lizza dan Dina memakai sepeda gandeng berdua.
Kita berkeliling ragunan sambil
melihat lihat binatang-binatang yang kita lewati. Kita juga mengomentari
binatang-binatang tersebut dan tertawa-tawa bersama-sama. Saat kita melewati
monyet, kita sangat beruntung karena monyet-monyetnya sadang sangat lucu
seperti sedang bermain-main dan berbicara dengan satu sama lain.
“Ya ampun mama, aku mau main!” Dina
berkata seperti sedang mendialogkan si monyet yang kecil yang sedang
bermain-main.
“Tidak anakku, kamu harus tidur
siang.” Aku pun melanjutkan, mengikuti apa yang di lakukan oleh dina, dan kita
tertawa lagi.
Hari ini adalah hari yang sangat amat
menyenangkan. Tidak ada yang mengganggu, hanya aku dan sahabat-sahabatku
bersenang-senang. Kita bertiga sedang tertawa terbahak-bahak karena cerita lucu
yang barusan Lizza ceritakan sembari kita berkeliling Ragunan. Di depan ada
turunan. Aku sangat suka jalanan yang menurun karena angin yang akan menghembus
saat kita melewatinya, dan kita tidak perlu mengoes pedal sepeda.
“Wiiii!” seruku, sambil menutup mata
sejenak asyik dengan rasa sejuk yang ku rasakan. Saat aku membuka mata, aku
sudah berada di dekat ujung turunan. Aku pun cepat-cepat memencet rem agar
tidak terlalu berbahaya, karena di ujung turunan ada belokan.
“Toloong!!” Aku bingung. Ku coba
sekali lagi. Enggak bisa!
“TOLONG!” Aku mulai panik.
“LIZZA, DINA!!” Aku panik dan takut.
“ADEL! Rem Del!” sahut Lizza yang
terdengar sangat jauh.
“ENGGAK BISA!! TOLONG LIZ, ENGGAK BISA
DI REM! AAAH” Aku teriak, terdengar panik di suaraku.
“Eh ada si tulang. Rem dong nanti
kalau jatuh kan berabe.” terdengar dari telinga sebelah kananku suara laki-laki
yang sangat familiar. Kok ngos-ngosan? Sepertinya Ia sedang berolahraga. Tunggu,
aku masih melaju kencang!
“MATIAS! TOLONGIN GUE! ENGGAK BISA DI
REM!” teriakku dengan harapan dia dapat berubah menjadi baik. Sebenci-bencinya
aku kepadanya, dialah yang paling dekat denganku yang memungkinkan untuk bisa
menolongku.
“Ya ampun adelia!” terdengar suara
hentakkan kaki yang sangat cepat di belakang.
“AAAH!” Aku takut. Bagaimana ini? Aku
tak dapat berpikir apa-apa. Aku sangat takut. Mataku terpejam, takut untuk
melihat.
“ADELIA!” suara Matias sudah dekat.
Aku mulai agak lega. Mataku perlahanku buka, dan kulihat di sebelah kananku
Matias dengan muka yang sangat amat panik mencoba untuk mendekat. Kucoba
ulurkan tangan agar dapat tergapai oleh Matias, tetapi tangan kiriku menarik
sepedaku ke sebelah kiri.
“Enggak bisa!” rengekku. Mataku sudah
mulai berair. Kuulurkan tanganku untuk menyeka air mata yang sudah berjatuhan.
Tak lama, aku merasakan benturan di sepedaku yang membuatku melayang dan dengan
cepatnya aku menabrak sesuatu dengan posisi yang tidak enak. Aku bingung.
Terasa tubuhku menabrak besi yang sepertinya pagar ragunan, dan pandanganku
menjadi gelap seketika.
Kepalaku sakit. Badanku susah untuk
bergerak. Ada apa ini? Mengapa aku seperti ini? Apa yang terjadi? Perlahan aku
membuka mataku. Ah terang sekali. Kucoba sekali lagi. Nah, sudah tidak terlalu
terang lagi. Dimana aku? Eh ada Matias! Dia ganteng banget sih. Siapa
cewek-cewek yang berdiri di sampingnya? Ih jangan dekat-dekat Matias! Dia
milikku! Aduh sakit. Aku tidak dapat beranjak dari tempat tidur ini.
“Matias” ya ampun suaraku jelek
sekali. Mulutku terasa sangat kering. Tenggorokkanku sakit.
“Adelia!” serunya, langsung
memberikanku minum. Aku tersenyum. Senang sekali mendengar suaranya. Mereka
semua langsung menghampiriku. Aku merasa risih. Siapa sih mereka?
“Matias, aku dimana?” wajah mereka
semua menunjukkan kebingungan.
“Kamu di rumah sakit del” Matias
menjawab.
“Kenapa?” aku bingung dan panik.
“Kamu enggak inget kejadian kemaren?”
Si cewek satunya bertanya. Yang ku ingat hanyalah suara matias memanggil
namaku.
“Enggak. Kamu siapa sih?” Tanyaku
sedikit jutek. Matias punyaku.
“Kamu enggak kenal aku?” Tanyanya
lagi.
“Enggak. Aku juga gak kenal kamu” Aku menunjuk
ke cewek satunya lagi. Tiba-tiba papa dan mamaku datang tanpa mengetuk pintu.
Ya ampun kalau saja mereka salah ruangan pasti malunya minta ampun, hahaha.
“Adelia!” Mama memanggil langsung
menerobos matias yang tadinya ada di sampingku.
“Sayang! Kamu udah bangun? Enggak
kenapa-kenapa kan sayang?” Tanya papaku.
“Iya pa, ma, Adel enggak apa-apa kok.”
Jawabku sedikit memanja.
“Iya sayang, tadi kita sudah menanyakan
susternya, katanya hari selasa Adel sudah bisa pulang.” Ujar mama sangat bersemangat.
Aku sangat senang.
“Matias! Aku hari selasa sudah bisa
pulang!” Seruku. Matias datang padaku, sedangkan dua orang cewek tadi keluar
dengan mama dan papaku.
“Adelia, aku siapa?” Tanya matias
seperti orang aneh.
“Kamu pacar aku lah…” Mukanya langsung
terlihat panik, bingung, tetapi senang di saat yang bersamaan. “Kamu enggak
apa-apa kan?” tanyaku untuk memastikan.
“Iya enggak apa-apa kok. Yang tadi
barusan datang itu siapa?”
“Dua orang tadi? Mereka kan mama dan papaku.
Kamu gimana sih, hahaha”
“Terus, yang dua cewek tadi kamu tahu
enggak mereka siapa?” Tanyanya lagi. Astaga dia kenapa sih.
“Enggak tahu. Mereka siapa sih? Mereka
mau mengambilmu dariku?” Muka Matias langsung panik. “Ya ampun, kamu
selingkuh?” Tanyaku lagi. Aku sedih, kecewa. Semoga dia tidak selingkuh.
“Eh, enggak kok, enggak. Tunggu
sebentar ya.” Matias langsung lari keluar. Tak lama kemudian, dokter dan
semuanya datang. Ada apa ini?
“Adelia, kamu enggak inget dua cewek
ini siapa?” Tanya dokter. Emang aku harusnya inget ya?
“Enggak dok. Ada apa sih ini?” Mereka
tidak menjawabku. Yang mereka berikan hanyalah muka kasihan.
Adelia mengalami amnesia ringan.
Tetapi kata dokter, semua hal yang Adelia lupa sekarang, tidak dapat kembali
lagi. Walaupun Dina dan Lizza sudah mencoba membuat Adelia mengingat mereka,
tetap saja gagal. Adelia tidak tahu kalau dia mengalami amnesia. Mama dan
papanya menganggap Adelia tidak perlu tahu tentang kejadian yang menimpanya.
Sekarang Adelia selalu bersama Matias. Matias senang, akhirnya Ia bersama
dengan cewek yang disukainya, walaupun agak sedikit sedih cewek itu harus
mengalami amnesia untuk menyukai Matias.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar