Jumat, 03 Januari 2014

Tulisan 9


Jalanan itu Rumahku

Pim pim piiimmm. Suara gaduh yang biasa terdengar di jalan-jalan kota. Debu, asap, polusi semua bercampur aduk. Suasana menjadi pengap dan sangat panas. Sampah-sampah masih terlihat di pinggir-pinggiran jalan. Lampu merah menyala. Anak-anak itu berhamburan ke jalan. Ada yang memakai gitar kecil ada pula yang membawa tutup-tutup botol yang dirangkai sedemikian rupa sehingga bisa mengiringi lantunan lagu yang mereka nyanyikan. Berhenti dan bernyanyi di setiap pintu-pintu mobil. Belum selesai lagu mereka beberapa keping uang receh sudah di tangan. Kemudian mereka menunduk sebagai tanda terimakasih. Lampu hijau menyala, mereka segera menepi ke pinggir jalan.

Anak-anak itu berpencar dengan tujuan masing-masing. Namanya juga anak jalanan, selalu berkelana di jalan sepanjang hari. Dua orang anak laki-laki berkalung dagangan kecil-kecilan itu malah tidak sesibuk anak-anak tadi. Asyik nongkrong di bangku panjang pinggir jalan itu. Parahnya lagi keduanya sambil asyik menghisap rokok tanpa rasa bersalah sedikit pun. Padahal mereka masih kecil. Paling baru seusia kelas 6 SD. Bersendau gurau keduanya dan hanya memandangi jalan. Lalu dari arah kanan mereka berjalan dengan gesa seorang anak perempuan memakai seragam putih biru dengan tas di punggungnya. Gayanya terlihat kumuh berjalan menghampiri kedua anak itu.

“Hehh! Kalian! Siapa yang suruh nongkrong-nongkrong di sini!” teriaknya dan memukuli kedua anak itu.
“Apalagi ini, kalian merokok? Dasar bodoh! Dasar nakal! Kalian mau mati ya!” anak perempuan itu merebut rokok dari tangan kedua anak itu.
“Aduh, Sakit…” rintih kedua anak itu. Anak perempuan itu mencekal lengan kedua anak itu lalu menyeretnya berjalan. Anak-anak itu tak berhenti merintih kesakitan.

Mereka berhenti di depan sebuah bangunan hampir hancur. Ditambal–tambal dengan bahan seadanya. Bangunan itu dijadikan tempat tinggal oleh anak-anak jalanan itu. Rupanya anak perempuan tadi sangat geram dengan kedua anak laki-laki itu. Matanya yang bulat mengisyaratkan kalau ia sangat marah.
“Kenapa kalian tidak kerja?”
“Kami kerja. Kami sedang istirahat. Capek banget muter-muter sampai terminal.”
“Cuma baru sampai terminal aja ngaku-ngaku capek, istirahat dulu. Huh! Tidak usah manja! Kalian ini mau enaknya saja. Capek sedikit ngeluh. Apa-apaan. Terus, siapa suruh tadi kalian ngrokok? Heh?” kedua anak laki-laki itu menunduk. Tidak ada yang mau angkat bicara.
“Kenapa tidak jawab?!” anak itu diam sejenak. “Kalian ini masih kecil. Kalian tau tidak, sih. Kalau kalian ngrokok sama aja kalian tu pengen mati! Tau! Darimana uang yang kamu pakai buat beli rokok itu? Dari hasil jualan kalian? Iya? Kan udah aku bilang, semua hasil kalian itu ditabung! Buat nanti kalian sekolah! Bukan buat jajan! Apalagi buat beli rok*k! Dasar kalian! selama ini dengerin omonganku tidak?” anak itu menghela nafas sejenak. Kedua anak laki-laki itu masih tetap terdiam.
“Aku peringatkan sekali lagi. Kalau besok kalian masih ngrok*k lagi, awas kalian! Mau ditangkap polisi? Heh?! Masuk sana!”

Gadis yang beranjak remaja itu bernama Putri. Ia sekarang duduk di kelas 8 SMP. Anak yang cantik tapi dengan sifatnya yang tegas dan keras. Hanya satu harapnya saat ini, bisa melanjutkan sekolah serta anak-anak jalanan yang sudah ia anggap sebagai adiknya itu bisa bersekolah seperti dirinya. Maka dari itu kelihatannya ia sangat keras kepada mereka. Mereka harus maju, tak mungkin selamanya mereka hidup di jalan.

Sudah hampir 10 tahun ini ia hidup di jalan. Tak mungkin tak merasa bosan. Apalagi di lingkungan yang sulit seperti itu. belum lagi ancaman kapanpun mereka bisa ditangkap polisi. Sebagai anak yang paling tua, Putri bertanggung jawab. Melakukan yang seharusnya ia lakukan pada adik-adiknya. Di tempat kecil itu ia hidup bersama 5 orang anak lainnya. Mereka semua terhitung masih anak-anak SD.

Malam ini waktunya Putri menyiapkan makanan seadanya. Nasi dengan lauk satu buah telur dadar yang dibagi berlima. Sudah terbiasa kalau Putri harus makan tanpa lauk.

“Kalian itu jangan macam-macam, ya. Kalau harus kerja, ya kerja. Nggak usah memikirkan yang lain. Nggak usah coba-coba. Kalau harus nyemir ya nyemir aja. Kalau harus ngasong ya ngasong. Harus jualan ya jualan. Selain apa yang aku perintahkan nggak usah melakukan yang lain. Terutama kalian! Didit, Oni! Kalau besok kau ulangi lagi, aku nggak peduli kalian mati di jalan! Ngerti?” nasihat Putri yang terdengar sangat tegas bagi anak-anak. Putri cuma tidak mau anak-anak terjerumus pada hal yang tidak baik.
“Ya…” jawab mereka serempak.

Esok paginya, mereka sudah bersiap masing-masing. Menata barang-barang asongannya. Alat-alat semirnya. Serta jualan kue nya. Ya, Putri tidak mengajari mereka mengamen atau mengemis seperti anak-anak yang lain. Walaupun hasilnya tak lebih banyak, tapi itu cukup mengajarkan mereka untuk bekerja keras. Sementara Putri sendiri sekolah dari pagi hingga siang, setelah itu harus menjadi kuli angkut tepung di pasar.

Siang ini Putri tak mendapati Didit dan Onni berjualan di tempat biasanya ia lewat. Di rumah mereka pun tak ada. Tiba-tiba seorang ibu yang biasa ia temui di pasar datang.
“Put.. Didit dan Onni tadi ikut ketangkep polisi..!!” kata ibu itu terengah-engah. Putri jadi panik. Ia berpikir keras dan khawatir.
“Makasih, Buk.” katanya. Ia lalu lari tanpa sempat berganti baju dahulu.

Benar saja kantor polisi penuh dengan orang-orang jalanan. Namun Putri belum menemukan Didit dan Onni. Rupanya mereka sedang duduk di hadapan pak polisi. Kenapa sampai ditanya-tanya.
“Apa yang kalian lakukan di tempat itu? Kalian juga pesta di situ? Darimana kalian dapatkan?” tanya pak polisi bertubi-tubi. Didit, Onni, bersama bandit-bandit itu. Anak-anak bandel dan nakal yang menyebalkan.
“Kami tidak pakai narkoba, Pak. Kami hanya main… istirahat..” kata Didit gemetaran. Hah? Narkoba? Jadi mereka dituduh pesta narkoba?.
“Tapi kalian juga merokok! Apa hanya itu?”
“Maaf, Pak. Jadi bapak menuduh anak ini pesta narkoba?” kata Putri menyela ketegangan itu.
“Kamu siapa lagi? Pergi sana kalau tidak ada keperluan! Mengganggu saja!”
“Saya kakak mereka, Pak.”
“Oh, benarkah? Lalu kamu juga ikut dalam pesta itu?”
“Saya sudah bilang mereka tidak pesta nark*ba, Pak. Darimana bapak tahu kalau mereka pesta narkoba?”
“Heh! Sudah sejak dulu tempat itu menjadi sarang mereka. Anak-anak itu juga melihatnya sendiri. Belum puas ditambah merokok.” kata pak polisi menunjuk pada bandit-bandit bandel itu. Putri sungguh jengkel. Dasar anak-anak tukang bohong. Pasti mereka mengada-ada saja untuk mencelakai Didit dan Onni.

“Jadi bapak percaya omongan mereka? Bukankah semua harus disertai bukti, Pak? Lalu kalau mereka benar-benar memakai narkoba, kenapa sampai sekarang mereka baik-baik saja? Bukankah pemakai narkoba selalu menjadi aneh? Mereka bukan pemakai, Pak. Anak-anak itu bohong! Mereka menuduh orang lain, padahal mereka sendiri yang melakukannya, Pak!”
“Hei! Dia bohong, Pak!” bantah anak-anak bandel itu sempoyongan.
“Apa? Kalian yang bohong! Sudah jelas-jelas kalian yang biasa memakai! Lihat, Pak! Mereka jadi gila seperti itu.”
“Heh! Pembohong, Pak. Dia itu yang tukang tuduh!”
“Sudah! Sudah!” bentak pak polisi menggebrak meja. “Ini kantor polisi! Jangan buat keributan!” sejenak kemudian semua menjadi diam.
“Baiklah. Nanti kalian akan ikut di penampungan.”
“Mereka berdua juga, Pak?”
“Tentu saja!”
“Tapi mereka bukan pengamen atau pengemis seperti yang lain, Pak. Mereka jualan. Bukan pengemis, Pak.” protes Putri.
“Sama saja. Mereka anak jalanan yang bandel. Anak kecil sudah merokok. Tunggu saja kalian akan dipindahkan nanti.” Polisi itu beranjak pergi. Pusing rupanya menghadapi anak-anak itu.
“Pak, saya mohon. Mereka adik saya, Pak.” Putri menahan tangan pak polisi itu. kemudian ia bersimpuh. Didit dan Onni yang sedari tadi hanya diam karena takut, jadi terkejut. “Jangan bawa mereka, Pak. Saya akan bertanggung jawab atas mereka. Saya akan menghukum mereka kalau mereka berani nakal lagi, berani merok*k lagi, Pak. Saya mohon percaya pada saya, Pak. Saya sekolah, Pak. Lihat seragam saya. Bapak percaya pada saya.” Tak disangka-sangka Putri meneteskan airmata. Polisi itu mengamati seragam yang dipakai Putri.

Didit dan Onni berjalan lambat-lambat. Melangkah mengikuti Putri yang sedari tadi diam. Mereka berdua menunduk tak bisa bicara apapun. Wajah mereka yang lusuh, baju mereka yang lusuh terkena debu membuat mereka semakin menyedihkan. Tiba-tiba Putri berbalik matanya menyorot tajam pada kedua anak itu.

“Kalian ini bandel banget, sih. Aku harus gimana supaya kalian itu ngerti.” Putri menahan amarahnya. Berlari masuk ke dalam rumah yang jauh dari sederhana itu.

Putri masih terdiam malam ini. Besok libur, jadi Putri sedikit tidak peduli dengan pelajaran. Duduk memandang langit melepas lelahnya hari ini di bangku kecil depan rumah. Didit dan Onni dengan takut-takut mendekati Putri duduk di sampingnya. Putri berpaling masih tak mau melihat mereka.

“Maaf, Kak. Kami salah. Kak Putri boleh menghukum kami.” akhirnya Didit bicara.
“Iya, Kak. Kami bandel. Kami takut sampai membuat kak Putri menangis. Kami akan bekerja keras mulai sekarang. Kami akan rajin jualan. Kami juga bisa bantu kak Putri di pasar. Kami ingin sekolah juga.” tambah Onni meyakinkan. Putri berbalik ke arah mereka.
“Kakak? Baru kali ini aku mendengar kalian memanggilku seperti itu.”
“Kami adiknya kak Putri, kan?” Putri hanya mengacak-acak rambut kedua anak itu. Didit dan Onni gembira rupanya berhasil minta maaf pada Putri.

Hari ini wajah Putri berbinar-binar. Ia melangkah senang dengan bawaan di tangannya. Anak-anak menyambutnya dengan heran. Menanyakan apa yang ia bawa. Seragam sekolah rupanya. Anak-anak bahagia kegirangan. Mereka senang rupanya sebentar lagi bisa sekolah.

Mulai hari ini, jadwal mereka berubah. Pagi sampai siang mereka sekolah, baru siang harinya mereka kembali bekerja. Putri bisa tersenyum bahagia. Ya, semua pasti tidak ada yang mustahil. Kini apa yang ia inginkan yang dulu ia kira sebatas angan belaka bisa terwujud. Jika kita mau, kita pasti bisa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar