Jumat, 03 Januari 2014

Tulisan 8


Aku Tak Pernah Membencimu Yah

Gemerlap sinar itu mungkin telah lenyap ditelan ombak di laut, entah ke arah mana, dimana bahkan bagaimanapun aku juga tak tahu pasti, kejadian itu terjadi saat aku masih di bangku taman kanak-kanak, yang jelas kebahagiaan itu telah tiada di hidupku, dunia ini seakan berputar begitu cepat, kemewahan atas harta kekayaan telah diberikan ayah sejak aku lahir di dunia kini telah lenyap akibat pengkhianatanya. Ayah yang begitu aku sayangi dengan tega meninggalkan kami demi orang ketiga pilihanya. Hari-hari itu memang ayah dan ibu sering mempermasalahkan satu hal yang selalu diiringi tangisan, jeritan, bahkan tamparan yang mungkin tak seharusnya terjadi dan tak pernah ku harapkan hadir di keluargaku.
“kamu seorang pengkhianat!”
“tutup mulutmu!!!” bentak ayah
Begitulah pertengkaran yang setiap malam ku dengar di telingaku.

Malam itu aku tak tahu setan apa yang telah merasuki perasaan ayah hingga ia begitu tega mengusir kami tanpa belas kasih sedikit pun.
“kemasi barang kalian dan segera pergi dari sini! Dasar benalu!”
Tak ku dengar pasti jawaban ibu, yang aku dengar hanya tangisan dan suara gerak kakinya yang menuju kamarku, aku tak tahu tiba-tiba ibu langsung memasukan baju ku dan baju nya lalu dia menggendongku keluar dari rumah

Saat itu terlihat wajah ibu yang terlihat bingung entah apa yang ia fikirkan, dia menciumku dan menangis dia berkata kepadaku kata bijak yang sampai aku menghembuskan nafas masih ada di otaku
“kamu harus jadi wanita yang kuat” aku tak tahu mengapa ia mengatakan itu padaku.

Malam itu kami menyusuri jalan hingga langkah kaki kami terhenti di sebuah terminal ibu menangis dia memeluku dgan tanganya yang hangat setelah itu ibu mengajakku duduk di sebuah toko
“kenapa ibu menangis?”
“ibu gak nangis kok, dek kita tidur di sini dulu ya”
“kenapa kita tidur sini bu, kan disini dingin lebih enak di rumah”
“sekarang itu bukan rumah kita”

Aku hanya terdiam, ku turuti apa kata ibu lalu dia menaruh jaket nya untuk alas tidurku. Ibu berada di sampingku di memeluku sambil menceritakan sebuah dongeng yang begitu membuatku terhanyut.

Keesokan hari, kami tiba-tiba disiram air yang begitu dingin sepontan kami terbangun ku lihat ada seorang yang marah pada ibu
“kenapa dia marah bu? Kita kan gak salah”
“kita salah nak, ya sudah kita pergi dari sini ya nak”

Lalu aku di gendong ibu dengan keadaaan yang basah dan kedinginan aku di bawa ke sebuah mushola dekat terminal disana ibu meminta izin pada petugas untuk numpang mandi.

Setelah aku dimandikan aku disuruh menunggu ibu di sebelahnya ku lihat ibu memakai baju putih seraya melakukan gerakan-gerakan, ku lihat ibu berdoa sambil menangis.
“ibu”
“apa nak”
“ayo pulang bu”
“kita mau ke rumah nenek”
“aku nggak mau di rumah nenek, rumah nenek kecil bu”

Ibu hanya tersenyum lalu ia mengajaku kembali ke terminal dan kami menaiki sebuah mobil warna hijau yang terdapat banyak orang di dalamnya

Perjalanan yang begitu lama dan tak kurasa aku sudah sampai di rumah neneku, rumah yang dua kali lebih kecil dari rumah yang kami tempati dulu. Disana hari-hari kulalui meski aku sulit untuk menghhilangkan kebiasaan manjaku, aku jarang makan hingga aku terkena penyakit lambung tapi aku tetap tak mau makan.

Hari-hari kulalui hingga tak terasa umurku sudah 14 tahun dan aku sudah menginjak kelas 3 smp, begitu aku sangat merindukan ayah. Setiap hari ku ingin ayah kembali dengan ibu tapi itu mustahil ibu sudah sangat benci pada ayah hingga pada saat ayah menemuiku ibu melarangnya.

Hari-hari aku sangat rindu pada ayah, hingga menjelang ujian nasional aku tak kuasa menahan rinduku
“ayah aku sangat merindukanmu”

Ujian nasional itu kulalui dengan keadaan sakit, aku tak bisa menggerakan kaki ku bahkan perutuku sudah sangat sakit
“aku harus semangat”

Setelah ku tempuh ujian keadaan ku semakin memburuk, ku lihat orang ibu, nenek, dan kekasih ku begitu sedih. Aku dibawa ke rumah sakit, aku tak sadar kan keberadaanku. Ku lihat mereka menangis, ku lihat tubuhku terbaring di sebuah ranjang dengan mata tertutup, ku lihat sosok ayah memeluk tubuh kecilku. Dan tak kusadari inilah roh ku, ini lah jasadku

Tubuhku dimandikan, tubuhku di selimuti kafan, dan disholati. Hingga kulihat ayah dan kekasihku menangis di atas nisanku dan ku saksikan jasadku terpendam beserta rasa rinduku pada ayah. Kalau sekarang aku bisa bicara dengan ayah akan kubisikan sebuah kata “ayah sampai kapanpun aku tak akan pernah membencimu”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar