Aku Tak Pernah Membencimu Yah
Gemerlap sinar itu mungkin telah
lenyap ditelan ombak di laut, entah ke arah mana, dimana bahkan bagaimanapun
aku juga tak tahu pasti, kejadian itu terjadi saat aku masih di bangku taman
kanak-kanak, yang jelas kebahagiaan itu telah tiada di hidupku, dunia ini
seakan berputar begitu cepat, kemewahan atas harta kekayaan telah diberikan
ayah sejak aku lahir di dunia kini telah lenyap akibat pengkhianatanya. Ayah
yang begitu aku sayangi dengan tega meninggalkan kami demi orang ketiga
pilihanya. Hari-hari itu memang ayah dan ibu sering mempermasalahkan satu hal
yang selalu diiringi tangisan, jeritan, bahkan tamparan yang mungkin tak
seharusnya terjadi dan tak pernah ku harapkan hadir di keluargaku.
“kamu seorang pengkhianat!”
“tutup mulutmu!!!” bentak ayah
Begitulah pertengkaran yang setiap
malam ku dengar di telingaku.
Malam itu aku tak tahu setan apa yang
telah merasuki perasaan ayah hingga ia begitu tega mengusir kami tanpa belas
kasih sedikit pun.
“kemasi barang kalian dan segera pergi
dari sini! Dasar benalu!”
Tak ku dengar pasti jawaban ibu, yang
aku dengar hanya tangisan dan suara gerak kakinya yang menuju kamarku, aku tak
tahu tiba-tiba ibu langsung memasukan baju ku dan baju nya lalu dia
menggendongku keluar dari rumah
Saat itu terlihat wajah ibu yang
terlihat bingung entah apa yang ia fikirkan, dia menciumku dan menangis dia
berkata kepadaku kata bijak yang sampai aku menghembuskan nafas masih ada di
otaku
“kamu harus jadi wanita yang kuat” aku
tak tahu mengapa ia mengatakan itu padaku.
Malam itu kami menyusuri jalan hingga
langkah kaki kami terhenti di sebuah terminal ibu menangis dia memeluku dgan
tanganya yang hangat setelah itu ibu mengajakku duduk di sebuah toko
“kenapa ibu menangis?”
“ibu gak nangis kok, dek kita tidur di
sini dulu ya”
“kenapa kita tidur sini bu, kan disini
dingin lebih enak di rumah”
“sekarang itu bukan rumah kita”
Aku hanya terdiam, ku turuti apa kata
ibu lalu dia menaruh jaket nya untuk alas tidurku. Ibu berada di sampingku di
memeluku sambil menceritakan sebuah dongeng yang begitu membuatku terhanyut.
Keesokan hari, kami tiba-tiba disiram
air yang begitu dingin sepontan kami terbangun ku lihat ada seorang yang marah
pada ibu
“kenapa dia marah bu? Kita kan gak
salah”
“kita salah nak, ya sudah kita pergi
dari sini ya nak”
Lalu aku di gendong ibu dengan
keadaaan yang basah dan kedinginan aku di bawa ke sebuah mushola dekat terminal
disana ibu meminta izin pada petugas untuk numpang mandi.
Setelah aku dimandikan aku disuruh
menunggu ibu di sebelahnya ku lihat ibu memakai baju putih seraya melakukan
gerakan-gerakan, ku lihat ibu berdoa sambil menangis.
“ibu”
“apa nak”
“ayo pulang bu”
“kita mau ke rumah nenek”
“aku nggak mau di rumah nenek, rumah
nenek kecil bu”
Ibu hanya tersenyum lalu ia mengajaku
kembali ke terminal dan kami menaiki sebuah mobil warna hijau yang terdapat
banyak orang di dalamnya
Perjalanan yang begitu lama dan tak
kurasa aku sudah sampai di rumah neneku, rumah yang dua kali lebih kecil dari
rumah yang kami tempati dulu. Disana hari-hari kulalui meski aku sulit untuk
menghhilangkan kebiasaan manjaku, aku jarang makan hingga aku terkena penyakit
lambung tapi aku tetap tak mau makan.
Hari-hari kulalui hingga tak terasa
umurku sudah 14 tahun dan aku sudah menginjak kelas 3 smp, begitu aku sangat
merindukan ayah. Setiap hari ku ingin ayah kembali dengan ibu tapi itu mustahil
ibu sudah sangat benci pada ayah hingga pada saat ayah menemuiku ibu
melarangnya.
Hari-hari aku sangat rindu pada ayah,
hingga menjelang ujian nasional aku tak kuasa menahan rinduku
“ayah aku sangat merindukanmu”
Ujian nasional itu kulalui dengan
keadaan sakit, aku tak bisa menggerakan kaki ku bahkan perutuku sudah sangat
sakit
“aku harus semangat”
Setelah ku tempuh ujian keadaan ku
semakin memburuk, ku lihat orang ibu, nenek, dan kekasih ku begitu sedih. Aku
dibawa ke rumah sakit, aku tak sadar kan keberadaanku. Ku lihat mereka
menangis, ku lihat tubuhku terbaring di sebuah ranjang dengan mata tertutup, ku
lihat sosok ayah memeluk tubuh kecilku. Dan tak kusadari inilah roh ku, ini lah
jasadku
Tubuhku dimandikan, tubuhku di
selimuti kafan, dan disholati. Hingga kulihat ayah dan kekasihku menangis di
atas nisanku dan ku saksikan jasadku terpendam beserta rasa rinduku pada ayah.
Kalau sekarang aku bisa bicara dengan ayah akan kubisikan sebuah kata “ayah
sampai kapanpun aku tak akan pernah membencimu”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar